daerah

Minggu, 14 November 2010

kisah

Tokoh wanita islam

Shirah artinya sejarah dan kalau mau berkenalan dengan tokoh-tokoh yang pastinya lebih keren daripada tokoh maya seperti Wonder Woman, elastigirl istri si Incredible dan lainnya, coba deh kita pelajari sejarah para sahabat perempuan di zaman Rasulullah SAW. Mereka bukan hanya pandai membaca Al Qur’an, tapi jago pedang, berkuda dan memanah, dan tidak sedikit yang juga menjadi “dokter” yang pintar mengobati para sahabat yang terluka di medan perang. Bahkan, ada di antara mereka yang terpotong tangannya karena melindungi Rasulullah! Pokoknya Subhanallah,

keren abiiisss…


Nusaibah si Jago Pedang

Rasulullah SAW yang mulia berdiri di puncak bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju mengarah pada dirinya. Beliau memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya seorang perempuan mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi dirinya. Beliau memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita tersebut melakukan hal yang sama – menghadang bahaya demi melindungi sang pemimpin orang-orang beriman.

Kata Rasulullah SAW.kemudian, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”

Memang Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat junjungannya itu terancam bahaya, dia maju mengibas-ngibaskan pedangnya dengan perkasa sehingga dikenal dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong tangannya. Ummu Umarah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dalam menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.

Nusaibah adalah satu dari dua perempuan yang bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita yang seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri. Pada saat baiat itu Rasulullah menasihati mereka, “Jangan mengalirkan darah denga sia-sia.”

Dalam perang Uhud, Nusaibah membawa tempat air dan mengikuti suami serta kedua orang anaknya ke medan perang. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan betapa pasukan Muslimin mulai kocar-kacir dan musuh merangsek maju sementara Rasulullah SAW. berdiri tanpa perisai. Seorang Muslim berlari mundur sambil membawa perisainya, maka Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berseru kepadanya, “berikan perisaimu kepada yang berperang.” Lelaki itu melemparkan perisainya yang lalu dipungut oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi.

Ummu Umarah sendiri menuturkan pengalamannya pada Perang Uhud, sebagaimana berikut: “…saya pergi ke Uhud dan melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah SAW. yang berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah SAW, kemudian ikut serta di dalam medan pertempuran. Saya berusaha melindungi Rasulullah SAW dengan pedang, saya juga menggunakan panah sehingga akhirnya saya terluka.”

Ketika ditanya tentang 12 luka ditubuhnya, Nusaibah menjawab, “Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang Rasulullah ketika para sahabat sedang meninggalkan baginda. Lalu (Ibnu Qumaiah) berkata, ‘mana Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup.’ Lalu Mushab bin Umair dengan beberapa orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibny Qumaiah memukulku.”

Rasulullah juga melihat luka di belakang telinga Nusaibah, lalu berseru kepada anaknya, “Ibumu, ibumu…balutlah lukanya! Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surge!” Mendengar itu, Nusaibah berkata kepada anaknya, “Aku tidak perduli lagi apa yang menimpaku di dunia ini.”

Subhanallah, sungguh setianya beliau kepada baginda Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam.

*The Black Rider

Siapa Ksatria Berkuda Hitam ini? Itulah Khaulah binti Azur. Dia seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan pandai bermain pedang dan tombak, dan terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.

Diriwayatkan betapa dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid bin Walid, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran. Seperti singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.

Panglima Khalid bin Walid serta seluruh pasukannya tercengang melihat ketangkasan sosok berbaju hitam itu. Mereka bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh tubuhnya dan hanya terlihat kedua matanya saja itu. Semangat jihad pasukan Muslimin pun terbakar kembali begitu mengetahui bahwa the Black Rider, di penunggang kuda berbaju hitam itu adalah seorang wanita!

Keberanian Khaulah teruji ketika dia dan beberapa mujahidah tertawan musuh dalam peperangan Sahura. Mereka dikurung dan dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun agak mustahil untuk melepaskan diri, namun Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati sahabat-sahabatnya. Katanya, “Kalian yang berjuang di jalan Allah, apakah kalian mau menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak orang-orang kafir? Dimana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin mendapatkan surga Allah? Dimana kehormatan kalian sebagai Muslimah? Lebih baik kita mati daripada menjadi budak orang-orang Romawi!”

Demikianlah Khaulah terus membakar semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah saudari sekali-kali gentar dan takut. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyak takbir serta kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.

Dikisahkan bahwa akhirnya, karena keyakinan mereka, Khaulah dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri dari kurungan musuh!

Keren kan? Subhanallah…

*Nailah si Cantik yang Pemberani

Nailah binti al-Farafishah adalah istri Khalifah Ustman bin Affan. Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku.” Subhanallah!

Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan keahlian Nailah di bidang sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Mereka punya satu orang anak perempuan, Maryan binti Ustman.

Ketika terjadi fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh menerobos masuk dan menyerang dengan pedang pada saat Ustman sedang memegang mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara engkau dari mereka.”

Seseorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali merampas senjata itu, dan menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah ruah saat memangku jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”

Dikisahkan dalam sejarah bahwa si penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering dan matanya buta!

Sesudah Ustman wafat, Nailah berkabung selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan rumah Ustman ke rumah ayahnya.

Nailah memandang kesetiaan terhadap suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya. Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan. Ketika Ustman terbunuh, ia mengatakan, “Sungguh kalian telah membunuhnya padahal ia telah menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaat.”

Subhanallah yah, ternyata umat muslim juga memiliki jagoan wanita yang memang nyata adanya, semoga kita, para muslimah dapat mengambil teladan dari mereka, aamiin.

DARIPADA mengagumi ARTIS2 yg tidak jelas…kenapa tidak qita ikuti jejak2 para SAHABIYAH dan meneruskan ESTAFET PERJUANGAN untuk menjadi PEMBELA ISLAM???

LETZ GO GIRLZ…

WE WILL NOT GO DOWN..

and NEVER GIVE UP..!!

ALLAHU AKBAR…………1924x.

*KHAULAH AL FATIH*

sumber: http://keepfight.wordpress.com/2010/02/20/para-%E2%80%9Cjagoan-wanita%E2%80%9D-di-zaman-rasulullah-saw-letz-go-girls-follow-them/

Selasa, 25 Mei 2010

gajahmada

Biografi Gajah Mada

Layaknya Napoleon Bonaparte, Gajah Mada terlahir sebagai orang biasa. Seorang military-politico yang meniti karir dari bawah hingga duduk di puncak pengambilan keputusan negara yang berpengaruh. Sulit disangkal, salah satu faktor kuat mengapa Majapahit muncul sebagai kerajaan besar akibat pengaruh tokoh ini.

Leo Suryadinata mengakui, sejarah awal kehidupan Gajah Mada tidaklah begitu jelas. Namun, Encarta Encylopedia berani memperkirakan Gajah Mada lahir tahun 1290 M. Jadi, ia lahir lahir dan besar tatkala terjadi transisi antara kekuasaan Raden Wijaya kepada Jayanagara. Pembacaan atas tokoh Gajah Mada kerap dihubungkan dengan dimensi supernatural. Ini sulit dihindari, oleh sebab masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, memang menilai tinggi dimensi tersebut.

Upaya penyingkapan jatidiri Gajah Mada hendaklah menghindari pencampuadukan tersebut. Namun, pencampuran dengan dimensi religius tersebut paling tidak tetap dihargai sebagai upaya sebagian bangsa Indonesia kalangan untuk membanggakan tokohnya, terlebih Indonesia yang terus mencari figur untuk diteladani di masa "bellum omnium contra omnes" ini. Juga terdapat beberapa pendapat yang menyebut Gajah Mada adalah keturunan Mongol.
Ia terlahir selaku anak dari salah satu pasukan Mongol yang diam di Jawa dan menikah dengan perempuan lokal. Argumentasi ini diambil oleh sebab di periode kelahiran Gajah Mada, wilayah Majapahit pernah diduduki atau paling tidak, diserang oleh Dinasti Yuan yang keturuan Mongol tersebut. Namun, pendapat ini tidak memiliki bukti-bukti konkrit berupa inskripsi, prasasti, epik dan sejenisnya. Pararaton dan Negara Kertagama tidak pernah menyebut soal tersebut.
Leo Suryadinata menulis, Gajah Mada mengandalkan intelijensi, keberanian, dan loyalitas dalam meraih mobilitas vertikalnya. Karirnya lanjutannya adalah kepala pasukan Bhayangkara, pasukan penjaga keamanan Raja dan keluarganya. Raja yang menjadi junjungannya saat itu adalah Jayanagara yang berkuasa di Majapahit sejak 1309-1328 M. Menjadi mungkin, Gajah Mada telah meniti karir militer sejak kekuasaan Raden Wijaya, raja pertama Majapahit, dan sedikit banyak memahami spirit pemerintahannya.



Jayanagara ini adalah putra pasangan Raden Wijaya dengan seorang putri Sumatera (Jambi) bernama Dara Petak. Sebab itu, darah yang mengalir di tubuh Jayanagara bukanlah pure Jawa. Anggapan yang relatif rasis ini merupakan fenomena sebuah kancah politik hegemoni dalam kekuasaan aneka suku bangsa tatkala itu. Buktinya, pernah tahun 1316 M muncul pemberontakan Nambi yang menurut gimonca.com muncul akibat sentimen "darah" Jayanagara tersebut. Meski pemberontakan itu berhasil dipadamkan, seolah sesuatu yang laten (faktor rasisme) 'menyala' dalam politik Majapahit ini.
Tatkala Gajah Mada jadi kepala pasukan Bhayangkara, meletus pemberontakan Ra Kuti, salah satu pejabat istana tahun 1319 M. Pemberontakan ini cukup menohok, oleh sebab si pemberontak mampu menduduki ibukota. Jayanagara berikut istri Raden Wijaya dan putrinya (Tribhuwanattungadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita) mengungsi ke Bedander. Selaku kepala pasukan keamanan, Gajah Mada memastikan keamanan raja dan keluarga. Setelah dinyatakan save, ia berbalik ke ibukota guna menyusun serangan balasan.

Ia meneliti kesetiaan rakyat dan pejabat Majapahit kepada Raja Jayanagara dengan memunculkan isu keterbunuhan raja. Menurut anggapannya, raja dan sebagian besar pejabat Majapahit menyayangkan kematian raja dan membenci perilaku Ra Kuti. Atas dasar ini, Gajah Mada menyusun serangan balasan secara kemiliteran, dan berhasil membalik keadaan. Pemberontakan Kuti pun dipadamkan. Raja dan keluarganya kembali ke ibukota.

Kebijakan Jayanagara ditopang oleh kemampuan politik Arya Tadah, mahapatih Majapahit. Fokus kebijakan raja dan mahapatih ini adalah stabilitas politik dalam negeri. Jadi, Majapahit belum lagi melakukan penaklukan ke pulau-pulau "luar" Jawa. Ini mengingat Gajah Mada belum memegang peran penting di dalam pembuatan keputusan politik level negara.
Atas jasanya memadamkan pemberontakan Kuti, Jayanagara menaikan status Gajah Mada dari sekadar komandan pasukan Bhayangkara menjadi menteri wilayah (patih) dua daerah kekuasaan Majapahit: Daha dan kemudian, Jenggala. Posisi tersebut cukup berpengaruh mengingat dua wilayah tersebut diwenangi oleh putri Tribuwanattunggadewi (Daha) dan Dyah Wiyat (Jenggala), dua saudari tiri Jayanagara. Jayanagara sendiri belumlah memiliki putra laki-laki selaku penerus tahta.
Bukti mengenai hal ini, seperti ditulis Heritage of Java, sebuah enskripsi bernama Walandit menceritakan gelar Gajah Mada dalam kekuasaan barunya itu adalah Pu Mada. Wilayah yang diwenangi kepatihan Gajah Mada adalah Jenggala-Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura. Loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara tidaklah tetap. Versi cerita seputar perubahan loyalitas tokoh ini pada rajanya, paling tidak ada tiga. Seluruhnya berorama motif pribadi.
Pertama, dari Charles Kimball yang menulis, loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara mengalami titik balik tatkala raja mengambil istri Gajah Mada selaku haremnya. Kedua, Kitab Negara Kertagama olahan Empu Prapanca menulis, perubahan loyalitas Gajah Mada akibat mulai jatuh hatinya Raja Jayanagara terhadap dua saudari tirinya: Tribuwanattunggadewi dan Dyah Wiyat. Empu Prapanca ini akrab dengan Gajah Mada sendiri. Ketiga, novelis Langit Kresna Hariyadi, yang menulis loyalitas Gajah Mada terhadap Jayanagara berubah akibat kekhawatian Gajah Mada atas mulai berubahnya sikap raja terhadap Tribhuwanattunggadewi.
Ketiga asumsi tersebut melatarbelakangi proses meninggalnya Raja Jayanagara tahun 1328. Versi meninggalnya Jayanagara pun berlatar belakang loyalitas Gajah Mada pada Jayanagara. Versi Kimball menyatakan, Gajah Mada menskenario pembunuhan atas Jayanagara dengan memanfaatkan tangan Ra Tanca, tabib istana. Tanca dipaksa membunuh Jayanagara akibat suruhan Gajah Mada dalam suatu proses pembedahan atas diri raja. Versi ini didukung pula oleh pendapat Leo Suryadinata, yang juga menulis kekecewaan Gajah Mada akibat istrinya diambil oleh raja sebagai motif asasinasi. Setelah raja meninggal, Gajah Mada menuding Tanca ini telah membunuh raja dan ia pun dieksekusi mati olehnya sendiri. Peristiwa 1328 M ini menggambarkan rumitnya politik pada aras Palace Circle. Kepentingan pribadi berbaur dengan nasib dan masa depan suatu negara.

Pada masa terbunuh dan digantinya Jayanagara ini, Odoric dari Pordonone, pendeta ordo Fransiskan dari Italia mengunjungi Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Setelah terbunuhnya Jayanagara, Gajah Mada berkeras Tribhuwanattunggadewi dijadikan ratu Majapahit. Belum ditemukan bukti yang cukup seputar alasan kekerasan hati Gajah Mada atas penunjukan ini.
Namun, dari analisis ras, Gajah Mada mungkin khawatir singgasana akan jatuh pada Arya Damar, keturunan Raden Wijaya dari istri yang asal Jambi. Sementara, Tribhuwanattunggadewi adalah putri keturunan Raden Wijaya asli pulau Jawa. Mungkin saja, opini yang muncul saat itu adalah putra asli atau bukan. Atau, dimungkinkan pula, dengan beralihnya kekuasaan pada ratu ini, Gajah Mada lebih leluasa dalam mengambil tindakan. Konflik suksesi ini terbukti dengan baru dilantiknya Ratu Tribhuwanattunggadewi tahun 1329, sekurang-kurangnya menurut Charles Kimball. Pemimpin perempuan Majapahit ini berkuasa sejak 1329 hingga 1350 M. Pada fase ini, Majapahit memulai fase penaklukannya.
Mahapatih Arya Tadah pensiun tahun 1329 M, dan praktis posisi tersebut jatuh ke tangan Gajah Mada. Tribhuwanattunggadewi sangat mendukung program-program Gajah Mada. Tahun 1331 M meletus pemberontakan Sadeng dan Keta, di wilayah timur Pulau Jawa. Gajah Mada mengirim ekspedisi militer ke sana dan berhasil memadamkan pemberontakan wilayah tersebut. Ra Kembar, salah satu bangsawan dan pejabat Majapahit berusaha menutup jalan pasukan Gajah Mada ke wilayah Sadeng, baik secara politik maupun militer.
Namun, blokade tersebut berhasil ditembus, dan kedua wilayah kembali masuk ke kekuasaan Majapahit, terutama dengan kekuatan militer. Pasca pemberontakan Sadeng dan Keta, Leo Suryadinata menulis Gajah Mada segera diangkat selaku Mahapatih Majapahit. Sumpah Palapa pun diucapkannya saat pelantikan. Sumpah tersebut disambut olok-olok para menteri lain semisal Ra Kembar, Ra Banyak, Jabung Terawas, dan Lembu Peteng. Peristiwa ini terjadi kemungkinan tahun 1331 M itu, di mana Ra Kembar dan Ra Banyak pun (dalam waktu tidak terlalu lama) kemdian dieksekusi mati atas persetujuan ratu, setelah sebelumnya dimutasi.

Bunyi sumpah Gajah Mada ini dikenal sebagai Sumpah Palapa, yang terekam di dalam Kitab Pararaton sebagai berikut : Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa Tahun 1333 M, di sebelah barat kekuasaan Majapahit berdiri Kerajaan Pajajaran dengan pusat di sekitar Bogor.
Kekuasaan dari sebelah barat Majapahit ini, di kemudian hari, juga menentukan karir politik Gajah mada. Kerajaan ini merupakan satu-satunya yang tidak takluk pada Majapahit, dan meski mengirim upeti kepada Majapahit tetapi merdeka dalam hal kebijakan negaranya. Hayam Wuruk lahir dari pernikahan Ratu Tribhuwanattunggadewi dengan suaminya, seorang bangsawan Majapahit. Tahun bernama Wikramawardhana. Suksesi lanjutan Majapahit kiranya relatif aman.
Prediksi stabilitas politik ini pun kiranya membuat politik ekspansi Majapahit menjadi stabil dan fokus. Tahun 1343 M, Gajah Mada melakukan pembuktian sumpahnya dengan menyerang Bali. Bali sendiri bukanlah wilayah yang belum pernah diekspansi kerajaan Jawa sebelumnya. Kira-kira tahun 1284 M, Raja Kertanegara dari Singasari pernah melaklukannya. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali ini juga dikenal sebagai Ekspedisi Bedahulu. Saat itu di Bali berkuasa raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten, sekurangnya sejak 1337 M. Raja Bali ini punya panglima perang perkasa bernama Amangkubumi Paranggrigis.

Dalam aktivitasnya, Paranggrigis punya seorang pembantu sakti bernama Kebo Iwa, asal desa Belahbatuh. Kebo Iwa inilah yang dinilai Majapahit perlu disingkirkan terlebih dulu guna melemahkan Bali.
Sebelum mengekspansi Bali secara militer, Gajah Mada melakukan diplomasi terlebih dulu. Ratu Tribhuwanattungadewi menulis surat yang dibawa Gajah Mada, bahwa Majapahit hendak bersahabat dengan Bali. Tidak diceritakan apa yang kemudian terjadi, paling tidak, Amangkubumi Paranggrigis kemudian menggantikan posisi Kebo Iwa selaku orang kuat Bali.
Paling tidak, Amangkubumi Paranggrigis 'terpaksa' turun tangan sendiri untuk memimpin posisi Bali atas Majapahit. Amangkubumi Paranggrigis mengumpulkan tokoh-tokoh untuk membahas sikap Bali atas Majapahit. Suara bulat dicapai, bahwa Bali tidak akan tunduk pada Majapahit. Tahun 1334 M, barulah Gajah Mada membawa ekspedisi militer ke Bali. Dalam ekspedisi tersebut, ikut serta Arya Damar (atau Adityawarman) yang saat itu memangku selaku panglima perang. Bali setelah serangan Majapahit, mengalami vacuum of power.

Orang berpengaruh di Bali yang masih hidup saat itu adalah Patih Ulung. Namun, patih ini tidak mampu menguasai keadaan dan sebab itu ia bersama 2 orang keluarganya yaitu Arya Pemacekan dan Arya Pemasekan datang menghadap Ratu Tribhuwanattungadewi untuk mengangkat wakil otoritas Majapahit di Bali. Tribhuwanattungadewi (dan pasti setelah berkonsultasi dengan Gajah Mada) pun mengangkat Sri Kresna Kepakisan (turunan Bali Aga) selaku wakil otoritas Majapahit di Bali. Bali Aga adalah turunan Bali pegunungan, yang kerap dipisahkan dengan Bali Mula (orang Bali asli). Trik politik yang tetap berupaya memecah atau menyeimbangkan orang "dalam" dan orang "luar" Bali agar tetap tunduk pada Majapahit.

Di era yang sama pula, Gajah Mada memimpin upaya penaklukan Lombok. Seperti telah disebut, dalam Ekspedisi Bedahulu 1333-1334 M, Gajah Mada disertai dengan Arya Damar atau Adityawarman. Adityawarman ini kemudian diangkat selaku wakil otoritas Majapahit di Sumatera (eks. Sriwijaya). Adityawarman ini semenjak kecil dipelihara di lingkungan keluarga Majapahit. Setelah penaklukan Gajah Mada, ia pun diangkat selaku vassal Majapahit yang berkedudukan di Jambi. Adityawarman ini masih merupakan saudara dari Jayanagara, raja Majapahit sebelumnya.

Tatkala menjadi vassal Majapahit, Adityawarman memperluas cakupan wilayah Majapahit hingga ke barat, Minangkabau. Ia memerintah atas nama Majapahit. Penaklukan ini diteruskan hingga ke Kerajaan Samudra Pasai. Termasuk ke dalamnya, penaklukan Tumasik (Singapura), Bintan, Borneo (Kalimantan), termasuk Burni (Brunei).

Proses penaklukan Gajah Mada juga diarahkan ke wilayah timur nusantara. Wilayah yang ditaklukannya meliputi Logajah, Gurun, Seram, Hutankadali, Sasak, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Timor, dan Dompo. Bahkan beberapa wilayah Filipina bagian selatan juga masuk ke dalam kekuasaan Majapahit.
Dalam proses penaklukan yang mengandalkan kekuatan maritim ini, Gajah Mada punya andalan Panglima Angkatan Laut Nala. Pada tahun 1350 M, terjadi "lengser keprabon mandeg pandito" Ratu Tribhuwanattunggadewi tahun 1350 M. Ratu digantikan putranya, Hayam Wuruk yang berkuasa 1350 - 1389 M. Kebijakan di bawah Hayam Wuruk ini lebih berorientasi pada stabilitas politik internal, termasuk upayanya mencari permaisuri. Sejumlah tulisan menyuratkan, politik ekspansionis Gajah Mada berakhir di masa Hayam Wuruk ini. Hayam Wuruk lebih menekankan pembangunan candi-candi, pengelolaan politik dalam negeri, dan pemadaman pemberontakan dari wilayah-wilayah taklukan.

Tahun 1351 M, Hayam Wuruk menginginkan Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pajajaran selaku permaisurinya. Kerajaan tersebut merupakan satu wilayah yang belum mengakui supremasi Majapahit. Gajah Mada melihat Kerajaan Pajajaran ini relatif dekat letaknya, tetapi belum tunduk sepenuhnya pada Majapahit. Sementara itu, Raja Pajajaran melihat, jika putrinya diambil selaku permaisuri, maka aliansi politik setara antara Pajajaran dan Majapahit akan tercipta. Datanglah rombongan 'besan' dari Pajajaran, lengkap dengan raja, kaum bangsawan, dan sejumlah kecil pasukan, termasuk sang raja sendiri. Mereka berkemah di lapangan Bubat, suatu pedataran luas di lingkungan ibukota Majapahit.

Terjadi negosiasi antara Gajah Mada dengan Raja Pajajaran seputar status Pajajaran pasca pernikahan tersebut, di mana muncul perbedaan asumsi antara keduanya: Taklukan atau Aliansi. Gajah Mada melihat potensi pembangkangan dari sebuah wilayah yang harusnya tunduk pada Majapahit. Raja Pajajaran mendebat keinginan Gajah Mada dan memutuskan angkat senjata jika 'penaklukanlah' yang diharapkan Gajah Mada. Gajah Mada pun mengerahkan pasukan menyerang tamu tersebut. Terjadinya tragedi Bubat yang terkenal itu. Pertempuran tentu saja tidak berimbang. Seluruh rombongan Pajajaran, termasuk raja dan putri Dyah Pitaloka menemui ajal.

Hayam Wuruk cukup kecewa dengan peristiwa ini. Ada beberapa tulisan yang memuat kekecewaan Hayam Wuruk ini. Kekecewaan ini dimungkinkan oleh beberapa asumsi. Hayam Wuruk yang masih muda, tentu berdarah 'panas' dan tatkala itu, sedang kasmaran dengan putri Sunda. Atau, sportivitas ksatria dari raja terpancing, mengingat rombongan pernikahan tersebut bukanlah lawan yang sepadan. Buntut dari peristiwa Bubat ini, misalnya, menyebut Gajah Mada dimutasi ke wilayah Madakaripura. Di wilayah tersebut, Gajah Mada hidup asketis. Ia wafat tahun 1364 M, tanpa diketahui pasti bagaimana prosesnya.

Terdapat sejumlah tulisan yang menyebut bahwa ia menderita sakit ataupun dibunuh oleh Raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) sendiri yang khawatir akan pengaruh politik Gajah Mada yang sedemikian kuat di Majapahit. Penaklukan Majapahit usai. Setelah tragedi Bubat ini, Hayam Wuruk mengarahkan politiknya ke arah stabilitas dalam negeri. Memang muncul beberapa pemberontakan di pulau "luar" seperti dari Palembang, yang minta bantuan Kekaisaran Cina untuk mengimbangi kuasa Majapahit. Namun, begitu pasukan Cina datang ke Palembang, wilayah itu sudah ditangani pasukan Majapahit dan ekspedisi Cina itu pun diluluhlantakkan.

Apapun alasannya, Gajah Mada adalah sosok politisi militer yang kuat. Penitian karir dari bawah, strategi politik eksternal maupun palace circle cukup signifikan. Sejumlah tulisan menyebut bahwa Hayam Wuruk sendiri "kerepotan" dengan pengganti Gajah Mada, yang serba bisa itu. Rajasanagara harus mengangkat sekurangnya 4 menteri baru untuk menggantikan posisi Gajah Mada pasca kewafatannya. Tiada pula, untuk sementara ini, ditemukan kabar apakah Gajah Mada punya keturunan. Butuh sebuah riset yang ditopang dana besar pemerintah Indonesia untuk mengangkat kisah Gajah Mada secara utuh. Mungkin, dibukukan setebal 1000 halaman agar para pembaca puas.

Gajah Mada ialah salah satu Patih, kemudian Mahapatih, Majapahit yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya. Tidak diketahui sumber sejarah mengenai kapan dan di mana Gajah Mada lahir. Ia memulai karirnya di Majapahit sebagai bekel. Karena berhasil menyelamatkan Prabu Jayanagara (1309-1328) dan mengatasi Pemberontakan Ra Kuti, ia diangkat sebagai Patih Kahuripan pada 1319. Dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Patih Kediri.

Pada tahun 1329, Patih Majapahit yakni Aryo Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Patih Gajah Mada dari Kediri sebagai penggantinya. Patih Gajah Mada sendiri tak langsung menyetujui. Ia ingin membuat jasa dahulu pada Majapahit dengan menaklukkan Keta dan Sadeng yang saat itu sedang melakukan pemberotakan terhadap Majapahit. Keta & Sadeng pun akhirnya takluk. Patih Gajah Mada kemudian diangkat secara resmi oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi sebagai patih di Majapahit (1334).

Sumpah Palapa
Pada waktu pengangkatannya ia mengucapkan Sumpah Palapa, yakni ia baru akan menikmati palapa atau rempah-rempah yang diartikan kenikmatan duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton berikut [1]: “ Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa ”

(Gajah Mada sang Maha Patih tak akan menikmati palapa, berkata Gajah Mada “Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa.)
Walaupun ada sejumlah (atau bahkan banyak) orang yang meragukan sumpahnya, Patih Gajah Mada memang hampir berhasil menaklukkan Nusantara. Bedahulu (Bali) dan Lombok (1343), Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai, dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatra) telah ditaklukkan. Lalu Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.
Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Perang Bubat
Dalam Kidung Sunda[2] diceritakan bahwa Perang Bubat (1357) bermula saat Prabu Hayam Wuruk hendak menikahi Dyah Pitaloka putri Sunda sebagai permaisuri. Lamaran Prabu Hayam Wuruk diterima pihak Kerajaan Sunda, dan rombongan besar Kerajaan Sunda datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung itu. Gajah Mada yang menginginkan Sunda takluk, memaksa menginginkan Dyah Pitaloka sebagai persembahan pengakuan kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan pihak Sunda mengenai hal ini, terjadilah pertempuran tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan Sunda di Bubat; yang saat itu menjadi tempat penginapan rombongan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran. Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya.

Dalam Nagarakretagama diceritakan hal yang sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Hayam Wuruk sangat menghargai Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, serta setia berbakti kepada negara. Sang raja menganugerahkan dukuh “Madakaripura” yang berpemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Gajah Mada. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pada 1359, Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih; hanya saja ia memerintah dari Madakaripura.

Akhir hidup
Disebutkan dalam Negarakretagama bahwa sekembalinya Hayam Wuruk dari upacara keagamaan di Simping, ia menjumpai bahwa Gajah Mada telah gering (sakit). Gajah Mada disebutkan meninggal dunia pada tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.
Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.

Wanita di Mata Mahapatih Gajah Mada

Date May 27, 2008

Untuk mewujudkan keinginanku atas Majapahit yang besar, aku bersumpah akan menjauhi hamukti wiwaha sebelum cita-citaku dan cita-cita kita bersama itu terwujud. Aku tidak akan bersenang-senang dahulu. Aku akan tetap berprihatin dalam puasa tanpa ujung semata-mata demi kebesaran Majapahit. Aku bersumpah untuk tidak beristirahat. Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, sama ingsun amukti palapa.

Mengerikan betul sumpah yang diucapkan Gajah Mada di depan Bale Manguntur ketika dilakukan pelantikannya menjadi Sang Mahapatih Majapahit mendampingi Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Sumpah ini kemudian terkenal dengan Sumpah Palapa. Bagaimana tidak, negarawan sejati ini bersumpah tidak akan bersenang-senang dalam puasa tanpa ujung sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kebesaran Majapahit.

Membaca biografinya yang ditulis dalam bentuk novel sejarah oleh Langit Kresna Hadi (Gajah Mada: Hamukti Palapa, Solo: Tiga Serangkai), terbayang di benak saya figur seorang Gajah Mada yang baginya kepentingan negara ditempatkan diatas kepentingan pribadi dan kelompok. Ia rela membunuh bibit-bibit yang bisa mengacaukan langgengnya pemerintahan kelak. Bahkan kalau perlu, ia bisa mencabut nyawanya sendiri demi kepentingan negara. Saya menduga, kasus Perang Bubat diujung kejayaan Majapahit yang merenggangkan hubungannya dengan Prabu Brawijaya juga didasari oleh kepentingan negara tersebut.

Satu pertanyaan penting di benak saya ketika menyusuri figur Gajah Mada. Apa yang menyebabkan Gajah Mada mampu mengemban sumpahnya? Konsep dan prinsip hidup seperti apa yang mendasari Gajah Mada bersumpah seperti itu? Mungkin salah satu sebabnya bisa dipetik dari konsep anehnya mengenai Wanita. Berikut kutipan dialog antara Gajah Mada dengan Mahapatih Arya Tadah tentang isteri. Meskipun ini hanya rekaan fiksi, tetapi tentunya Pak Langit telah melakukan riset sehingga konsep Gajah Mada tentang wanita sangat masuk akal dengan sumpah palapa-nya.

“Perempuan adalah sumber kelemahan bagiku, Paman! Yang jika aku layani, akan menjadi penghambat semua gerak langkahku. Ke depan, aku tak ingin terganggu oleh hal sekecil apapun. Padahal, ke depan, Majapahit membutuhkan para lelaki perkasa, membutuhkan laki-laki yang tangguh, tidak takut darah tumpah dari tubuhnya, dibutuhkan laki-laki pilih tanding yang berani berkorban dan tidak terikat oleh waktu”. Bagaimana seorang laki-laki bisa bebas dan berani meluaskan wilayah Majapahit, yang untuk keperluan itu mungkin harus dengan pergi bertahun-tahun jika ia terikat oleh seorang isteri, terikat oleh anak atau keluarga. “Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama isteri, yang merengek merajuk. Isteri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan.”

Waktu saya membaca paragraf ini saya terhenyak. Saya sangat terkesan dengan prinsip Gajah Mada itu. Dan ketika saya lupa untuk mereview buku ini, kesan ini perlahan mengendap dan diganti oleh lembar-lembar buku yang saya baca berikutnya, sampai saya membaca buku Musashi karangan Eiji Yoshikawa. Musashi, dalam menempuh Jalan Pedang, ternyata memiliki prinsip tentang perempuan yang mirip dengan Gajah Mada. Dan itu membuat saya kembali membuka buku Gajah Mada dan menulis apa yang dulu ingin saya tulis di sini. Tentang konsep Musashi,

Rabu, 19 Mei 2010

Kisah Laksamana Cheng Ho – Laksamana Agung dari daratan Tiongkok


sumber;
http://www.jualanbuku.com/2008/08/18/kisah-laksamana-cheng-ho-laksamana-agung-dari-daratan-tiongkok/

Salah satu cara untuk menghormati para pahlawan adalah meneladani jiwa besar dan perjuangan mereka. Mereka berjuang selalu membawa misi mulia demi kepentingan banyak orang. Itulah sifat para pahlawan.

Salah satu kisah yang ingin saya angkat adalah tentang seorang laksama atau jenderal dari daratan tiongkok china bernama Laksamana Cheng Ho atau Zheng He. Film tentang Laksamana Cheng ho akan mulai tayang di Metro TV setiap malam minggu dari tanggal 9 Agustus 2008 hingga akhir maret 2009. Film ini akan dibintangi oleh Yusril Ihza Mahendra. Cuplikannya bisa Anda download di video Laksamana Cheng Ho. atau film laksamana cheng ho format yang lebih baik.

Melalui artikel ini saya mencoba untuk merangkum kisah tentang laksamana cheng ho yang saya baca dari beberapa sumber di Internet, sehingga pembaca bisa mendapatkan kesatuan cerita yang lebih lengkap. Selamat membaca kisah laksamana cheng ho.

Masa kecil laksamana cheng ho

Walaupun tidak banyak catatan yang bisa menggambarkan masa kecil laksamana cheng ho, namun diketahui bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 1371 di propinsi Yunan. Ada artikel juga menyebutkan lebih spesifik yaitu di Hodai, sebuah kampung di Daerah Bao San.

Orang tuanya memberi nama Ma he, sedangkan Ma San po ( dialek fujian bisa diucapkan Sam Po, Sam Po) merupakan nama kecil dari Laksamana Cheng ho. Ia dilahirkan sebagai anak kedua dari pasangan Ma Hazhi dan Wen ibunya. Sebagai orang hui, yaitu etnis china yang sebagian besar adalah muslim, Cheng ho sejak kecil sudah memeluk agama islam. Baik kakeknya dan ayahnya sudah menunaikan rukun haji. Seperti diketahui kata hazhi dalam dialek mandarin mengacu pada kata Haji.

Saat dinasti Ming menguasai Yunnan dari dinasti Yuan ( bangsa Mongol ), banyak pemuda yang ditangkap dan dijadikan kasim di Nanjing. mahe yang saat itu berumur 11 tahun pun diabdikan ke Raja Zhu di istana beiping ( sekarang beijing ).

Masa menjadi kasim

Ketika menjadi kasim atau abdi kaisar, Kasim san po berhasil menunjukkan keberaniannya seperti ketika memimpin dalam perebutan tahta melawan kaisar Zhu Yunwen ( dinasti Ming ).

Antara tahun 1405 dan 1433, kaisar Zhu mensponsori beberapa ekspedisi armada laut ke beberapa penjuru dunia. Tujuannya adalah mengembalikan kejayaan tiongkok, mengontrol perdagangan, dan memperluas pengaruh di samudera Hindia.

Disinilah kasim san po menawarkan diri untuk melakukan misi ekspedisi ini dan Kaisar menyetujui. Mungkin disinilah nama Laksamana Zheng He atau Cheng Ho mulai digunakan. Ketika itu tahun 1405, armada yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho melakukan perjalanan pertamanya. Armada ini terdiri dari sekitar 300 kapal dengan diawaki 28ribu awak kapal. Diperkirakan armada ini terdiri dari 6 kapal besar yang biasa digunakan dalam perjalanan kekaisaran.

Ekspedisi Laksamana Cheng Ho

Pelayaran pertama cheng ho ini merupakan seabad sebelum pelayaran pelaut pemberani dari Eropa, Vasco da gama. Walaupun jika dibandingkan kapal vasco da gama berukuran lebih kecil yaitu panjang 23m, lebar 5m, sedangkan Laksamana Cheng ho sekitar 122m, lebar 52m).

Pada pelayaran pertama ini, armada Laksamana Cheng Ho berhasil mencapai hingga ke Asia Tenggara atau semenanjung Melayu, Sumatera, dan Java. Kemudian dilanjutkan ekspedisi kedua di tahun 1407-1409 dan ekspedisi ketiga 1409-1411 yang mampu mencapai India dan Srilanka.

Pada ekspedisi keempat, sekitar tahun 1413-1415, berhasil mencapai teluk persia, daratan arab, mogadhisu (Afrika Timur). Jalur ini diulang pada pelayaran kelima(1417-1419) dan keenamnya(1421-1422). Kemudian ekspedisi terakhir dilakukan di tahun 1431-1433 yang berhasil mencapai Laut Merah.

Selama perjalanannya, Laksamana Cheng ho memberikan hadiah kepada daerah yang dikunjunginya berupa porselin, sutera dan barang lainnya. Dan iapun mendapatkan hadiah aneh seperti zebra afrika dan jerapah. Selama berkunjung, Laksamana Cheng Ho dan armadanya sangat menghormati budaya dan kebiasaan masyarakat lokal. Bahkan ketika di Ceylon, Ia membangun monumen tiga agama yaitu Islam, Buddha dan Hindu.

Armada Laksamana Cheng Ho tidak mengutamakan peperangan untuk menyelesaikan masalah. Laksamana Cheng Ho lebih menyukai cara diplomasi untuk menyebarkan pengaruh Dinasti Ming. Walaupun dalam beberapa saat Laksamana Cheng Ho tetap mengerahkan kekuatannya seperti ketika menumpas Bajak Laut di Ceylon, atau ketika melawan armada lokal di arab dan afrika karena mengancam keberadaan Armadanya.

Salah satu kisah yang saya dengar dari acara Kick Andy, yaitu ketika Laksamana Cheng Ho berusaha mendamaikan kerajaan Blambangan dan Majapahit. Saat itu Laksamana Cheng Ho yang sedang berlabuh di semarang mengirimkan utusan kehormatan kaisar sebanyak 300 orang ke kerajaan Blambangan. Utusan ini sama sekali tidak bersenjata. Namun Majapahit salah mengira jika Kerajaan Blambangan sedang meminta bantuan dari Kaisar Ming. Sehingga Majapahit kemudian menyerang utusan ini. sekitar 170an lebih utusan tewas.

Laksamana Cheng Ho yang terkejut dengan serangan ini mengerahkan seluruh armadanya ke kerajaan Majapahit dan mengarahkan semua meriam kapal perangnya ke daratan. Namun ditengah emosi armadanya, Laksamana Cheng Ho melakukan tindakan yang mengejutkan yaitu dengan kapal kecil ditemani beberapa pengawalnya menghadap Raja Majapahit dan menanyakan alasan mengapa utusannya diserang.

Raja Majapahit menyadari telah terjadi kesalahpahaman. Masalah ini pun dapat terselesaikan dengan damai. Sungguh luar biasa hal yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho. Jika saja kita tidak mengutamakan kekerasan untuk memecahkan masalah maka hasilnya akan luar biasa. Jalan damai masih lah solusi yang terbaik.

Laksamana Cheng Ho diketahui meninggal dalam perjalanannya yang terakhir yaitu ke-7. Walaupun di china Anda akan bisa menemukan makamnya, namun seperti pahlawan lainnya makam itu kosong.

Laksamana Cheng Ho dalam 7 perjalanan lautnya berhasil menyebarkan warga china muslim ke Malaka, Palembang, Surabaya dan daerah lainnya. Seperti diketahui Malaka menjadi pusat pendidikan islam dan pusat perdagangan. Walaupun Laksamana Cheng Ho tidak mengedepankan perdagangan karena ia bukanlah seorang pedagang.

Misinya adalah menunjukkan organisasi yang baik dan teknologi maju kepada dunia. Ekspedisinya memudahkan pedagang china untuk mencapai dan berdagang hingga ke seluruh penjuru dunia. Seperti diketahui orang china berhasil tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. copied; 20/0510

Selasa, 18 Mei 2010

IMAM AL-GHAZALI RAHIMAHULLAH

BIOGRAFI HUJJATUL ISLAM AL-IMAM AL-GHAZALI RAHIMAHULLAH

Oleh: Pn. Zalina bt. Mat Zin
Sarjana Muda Sains (Bio Kesihatan) (U.M)
Diploma Pend. (Sains dan Kemahiran Hidup) (I.P.G Raja Melewar)

1.1 PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, tuhan sekalian alam, selawat dan salam ke atas junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW, rahmah bagi sekalian alam serta atas keluarga dan sahabat baginda sekaliannya. Bersyukur saya kehadrat Allah SWT kerana untuk julung kalinya saya diberi peluang untuk mengkaji dan membuat ulasan buku terhadap seorang tokoh yang amat disegani tidak hanya pada masa kegemilangan beliau bahkan sehingga masa kini. Peninggalan beliau bukanlah harta bertimbun yang menjadi rebutan,tetapi peninggalannya merupakan khazanah ilmu yang tidak dapat dinilai dengan sebarang material sekalipun. Ulasan saya yang tidak seberapa ini adalah hasil dari sebuah buku yang dapat saya namakan di sini sebagai ‘ Biografi Imam Al-Ghazali – Hujjatul Islam dan Pembaru Kurun ke-5 ( 450-505 Hijrah)’. Semoga apa yang dapat saya coretkan di sini mendapat teguran yang membina dari yang berhak.

1.2 BIOGRAFI AL-GHAZALI
Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad At-Thusi, yang digelar dengan gelaran Zainuddin. Beliau dilahirkan di Thus dari iklim Khurasan pada tahun 450 Hijrah. Beliau berasal dari keluarga yang amat sederhana. Bapanya dari kalangan yang tidak berpelajaran, tidak pandai menulis. Beliau melakukan kerja menenun wool lalu dijual di kedainya di Thus. Walaupun tidak berpelajaran, tetapi beliau tidak mahu anak-anaknya mengikuti jejak langkah beliau. Sifat ini merupakan satu sifat yang mulia yang perlu ada dalam setiap diri individu muslim kerana umum mengetahui tentang kepentingan ilmu pengetahuan untuk kejayaan dunia dan akhirat. Menjelang saat-saat kematian, beliau telah mewasiatkan Al-Ghazali dan seorang saudaranya iaitu Ahmad kepada seorang ahli sufi yang merupakan sahabat beliau. Beliau berpesan agar sahabatnya memelihara kedua-duanya dan memberi mereka pendidikan sehingga habis harta peninggalannya nanti.

Setelah bapanya meninggal dunia, maka tinggallah Al-Ghazali dan saudaranya bersama sahabat bapanya, seorang ahli sufi dan ahli kebaikan. Beliau mengajar kedua-duanya sehingga habis semua harta peninggalan orang tua beliau. Ahli sufi tersebut sudah tidak mampu lagi untuk membiayai mereka berdua, lalu meminta mereka untuk menuntut di sekolah supaya segala keperluan makan dan minum mereka terjaga.. Al-Ghazali akur dan itulah yang menjadi sebab kepada kebahagian dan ketinggian darjat mereka berdua.

Ketika Al-Ghazali masih kanak-kanak lagi, beliau telah mempelajari pelbagai ilmu daripada ramai guru yang berada di serata tempat dan ceruk rantau. Pertamanya, beliau telah mempelajari beberapa tajuk dari fiqh di negeri Thus dengan Imam Ahmad Ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke Jurjan untuk belajar dari Imam Abi Nashr Al-Isma’ili. Selepas itu beliau kembali semula ke Thus.Kemudian Al-Ghazali datang ke ‘Nisabur’ dan telah mendekati Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini ( 419-478 Hijrah). Beliau telah belajar dengan bersungguh-sungguh dan berijtihad sehingga mahir dalam mazhab ( Syafi’i), perselisihan, debat, usuluddin, usul fiqh, mantiq, membaca hikmah dan falsafah. Beliau mampu menguasai seluruhnya sehingga beliau bangun berhujjah dan membatalkan sesetengah dakwaan mereka. Beliau telah menyusun kitab-kitab dari pelbagai aspek ilmu yang telah dipelajari dengan susunan yang baik dan kedudukan yang lebih unggul.

Beliau merupakan seorang ilmuan yang sangat bijak, benar pandangannya, mempunyai fitrah yang menakjubkan, mempunyai ingatan yang kuat, daya tangkap yang tajam, pandangan yang mendalam dan berkebolehan menyelami makna-makna yang terperinci sehingga gurunya Al-Juwaini menyifatkannya dengan perkataannya: “ Al-Ghazali adalah lautan yang dalam”. Al-Hafiz ‘Abdul Ghafir bin Isma’il menyifatkan Al-Ghazali pada peringkat ini, bahawa beliau seorang yang bersungguh-sungguh dan berijtihad sehingga beliau dapat menyelesaikan pendidikan dalam waktu yang singkat, mengalahkan generasi-generasinya. Inilah kelebihan yang terdapat dalam diri Imam Al-Ghazali. Beliau tidak pernah jemu menuntut ilmu dan beliau sentiasa ada kemahuan untuk mengetahui sesuatu ilmu secara lebih mendalam.

Al-Gahazali menetap di Nisabur sehingga wafat Imam Al-Haramain pada tahun 478 Hijrah. Selepas itu, beliau telah merantau pula ke perkhemahan sultan untuk berjumpa dengan wazir “ Nazzam Al-Malik” yang majlis ilmunya dihadiri oleh ramai ulama dan ahli fashahah. Di sini merupakan tempat perdebatan ilmu dan beliau telah menonjolkan dirinya dengan mengalahkan lawannya sehingga beliau telah terkenal di seluruh daerah. Beliau tetap berada di perkhemahan sultan sehingga tahun 484 Hijrah. Beliau telah dilantik untuk mengajar di madrasah An-Nazzamiyyah di Baghdad. Lalu beliau pergi ke Iraq untuk menjalankan tugasnya di mana ketika itu umurnya mencecah tiga puluh empat tahun. Kedatangan beliau telah disambut dengan meriah.
Orang ramai begitu kagum dengan keindahan perkataannya, kefasihan lidahnya, huraiannya yang terperinci dan isyarat-isyaratnya yang halus. Kehormatan dan kedudukannya semakin tinggi di Baghdad sehingga beliau telah mengalahkan kedudukan pembesar-pembesar ulama , pemimpin-pemimpin (umara’) dan darul khilafah. Beliau juga telah menjadi Imam Iraq selepas Imamah Khurazan yang tsiqah iaitu Abdul Ghafir. Sesungguhnya beliau telah mencapai kejayaan dan menikmati kamanisan dunia yang fana dengan keharuman nama dan kemasyhuran. Walaupun begitu, beliau tidak pernah berhenti dari menuntut ilmu. Justeru beliau telah mempelajari ilmu-ilmu halus ( Ad-Daqiqah) yang menyebabkan berlaku peralihan total dalam kehidupan beliau. Beliau telah menyedari bahawa tidak ada ketamakan dalam mencapai kebahagiaan akhirat melainkan dengan taqwa dan menjauhkan diri dari kehendak hawa nafsu. Untuk mencapai semua itu adalah dengan memutuskan hubungan hati dari dunia dan berpaling dari dunia yang memperdayakan,berpaling dari kedudukan dan harta benda serta melarikan diri dari segala kesibukan dan ikatan dunia lalu kembali kepada akhirat yang kekal dan menghadap hakikat kepentingan kepada Allah Ta’ala.

Beliau telah membuat perhitungan ke atas segala amalan yang telah dilakukan selama ini dan beliau dapati yang paling baik ialah mengajar dan mendidik, tetapi beliau dapati dirinya menghadap kepada ilmu-ilmu yang tidak penting dan tidak mendatangkan manfaat di jalan akhirat. Selepas itu, beliau telah muhasabah tentang niat dalam pengajaran dan beliau dapati ia tidak ikhlas kerana Allah Ta’ala, bahkan faktor dan penggerak utamanya ialah mengejar kemewahan dan menyebarkan nama baik, maka beliau telah membuat kesimpulan bahawasanya beliau sedang berada di tepi jurang yang hampir runtuh dan beliau merasakan beliau akan jatuh ke dalam api neraka jika beliau tidak berusaha untuk merubah keadaan.

Beliau telah berazam dan bertekad untuk keluar dari Baghdad tetapi beliau telah tewas dengan nafsunya sendiri sehingga 6 bulan beliau telah berperang dengan tarikan nafsu dan godaan syaitan. Pada bulan Rejab tahun 488 Hijrah, telah berlaku peristiwa yang menyebabkan beliau terpaksa meninggalkan tugas-tugasnya di mana beliau tidak mampu mengajar kerana kehilangan kata-kata. Setelah itu beliau bermujahadah kepada Allah agar dipulihkan dirinya agar beliau mampu mengajar pada suatu hari nanti untuk memperbaiki hati-hati manusia. Beliau sentiasa berdoa kepada Allah dan Allah telah memakbulkan doa orang yang menderita. Keadaan tersebut telah memudahkan dirinya berpaling dari kemewahan , harta benda, anak-anak dan sahabat-sahabat. Selepas itu beliau telah keluar menuju ke Makkah.

Beliau telah meninggalkan Baghdad pada bulan Zulkaedah tahun 488 Hijrah dan telah menunaikan haji seterusnya menuju ke Syam. Di sana beliau telah menetap selama sepuluh tahun dan sebahagian waktunya dihabiskan di Baitul Maqdis. Kebanyakan waktu beliau digunakan untuk ber’uzlah dan khalwat, riyadhah ( latihan) dan mujahadah diri. Beliau sibuk mensucikan dan menjernihkan hatinya dengan berzikir kepada Allah Ta’ala dan beliau beri’tikaf di menara masjid Damsyiq sepanjang hari. Ketika ini beliau telah menyusun beberapa buah karangan yang terkenal seperti ‘Ihya’ Ulumuddin’ dan kitab-kitab yang diringkaskan daripadanya seperti Al-Arba’in dan risalah –risalah yang lain. Setelah ber’uzlah selama sepuluh tahun, beliau telah kembali ke negerinya iaitu Thus untuk meneruskan ‘uzlahnya. Namun di bawah desakan para wali dan permintaan yang berulang kali agar beliau keluar kepada manusia untuk mengajar, maka beliau pun keluar ke Nisabur untuk mengajar di Madrasah An-Nazzamiyyah pada bulan Zulkaedah tahun 499 Hijrah. Beliau telah memasang azam, tekad dan niat yang baru ketika keluar mengajar dan menyebarkan ilmu. Segala-gala yang dilakukan dengan tujuan yang berbeza sama sekali dengan yang sebelumnya. Ia adalah semata-mata kerana Allah dengan tekad untuk memperbaiki dirinya sendiri dan orang lain.

Beliau menetap dan mengajar di Nisabur dalam jangka masa yang singkat. Setelah itu, beliau telah kembali ke rumahnya di Thus. Beliau telah menjadikan kawasan rumahnya sebagai madrasah penuntut ilmu dan mengkhaskannya untuk tasawwuf. Beliau telah membahagikan waktu kepada beberapa tugas iaitu menghafal Al-Quran, duduk dengan ahli-ahli hati, mengajar panuntut ilmu, mengerjakan solat dan puasa. Dengan demikian tidak pernah kosong waktunya dan orang-orang yang bersama dengannya dari perkara yang tidak berfaedah. Beliau telah meninggal dunia di Thus pada hari Isnin 14 Jamadil Akhir tahun 505Hijrah . Semoga Allah Ta’ala mencucuri rahmah ke atas rohnya,

BAB 2 SUMBANGAN
2.0 PENDAHULUAN
Imam Al-Ghazali termasuk salah seorang dari tokoh-tokoh pemikir Islam yang mempunyai pelbagai pengetahuan dan kebudayaan yang luas. Beliau tidak menjurus kepada satu atau dua bidang ilmu dan pemikiran sahaja sebagaimana kebanyakan tokoh-tokoh Islam terkemuka yang lain.Jika disebut Ibnu Sina atau Al-farabi, maka akan terlintas di fikiran dua ahli falsafah agung dari ahli falsafah Islam dan jika disebut Imam Al-Bukhari , Muslim dan Ahmad, terlintas di fikiran tokoh-tokoh yang mempunyai kemampuan menghafal, amanah, teliti dan berpengetahuan. Tetapi berbeza sekali dengan Al-Ghazali, jika sebut namanya maka bercabanglah ilmunya dari seluruh aspek. Beliau adalah faqih yang bebas, Al-Ghazali mutakallim, Imam sunah dan pembelanya, Al-Ghazali yang berjiwa sosial, mengetahui hal ehwal alam, rahsia-rahsia diri dan selok belok hati. Beliau juga ahli falsafah yang bangkit menentang falsafah dan menyingkap apa yang ada padanya. Boleh dikatakan beliau adalah seorang lelaki yang mengetahui segala sesuatu dan dahaga kepada cabang-cabang pengetahuan.

Al-Ghazali adalah seorang tokoh Islam yang mendalami sesuatu ilmu secara terperinci. Beliau terkenal sebagai hujjatul Islam dan Pembaharu iaitu beliau akan membuat pembaharuan atau pemahaman yang lebih jelas mengenai sesuatu ilmu yang diterokainya. Beliau berbeza dengan ulama-ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa yang diterimanya, mengulangi dan menukilnya. Bahkan beliau seorang alim yang aktif, maklumat yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana kebenaran dan kebatilannya. Oleh itu, ada kalanya beliau menolak, merubah atau menjelaskan dan menghuraikan lalu membuat pembaharuan.

2.1 AL-GHAZALI DAN ILMU KALAM
Al-Ghazali memberi sumbangan yang cukup besar dalam perkembangan Ilmu Kalam. Beliau telah mengarang begitu banyak penulisan berkaitan dengan Ilmu Kalam. Dalam penulisan beliau, Al-Ghazali banyak mematahkan hujah-hujah daripada pihak yang keterlaluan ketika membahaskan isu-isu yang timbul daripada perbincangan Ilmu Kalam. Al-Ghazali lebih tertarik membahaskan Ilmu Kalam menurut metodologi para sahabat dan juga Rasulullah. Beliau menguatkan hujah-hujahnya berteraskan Al-Quran, As-Sunah dan perbahasan para sahabat.

Pernah disebut dalam sejarah, Imam Al-Ghazali tidak menyukai majlis-majlis perdebatan berkaitan Ilmu Kalam. Jika dijemput ke majlis seperti itu, beliau hanya berdebat dengan menggunakan metodologi yang tersebut di atas. Beliau berpendapat perdebatan yang diasaskan kepada hujah akal tanpa berpaksikan kepada sumber primer iaitu Al-Quran dan Assunnah hanya akan menambahkan lagi kerisauan dan kecelaruan dalam masyarakat Islam pada ketika itu.

Justeru itu, Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulumuddin ketika membincangkan berkaitan dengan teori dan konsep ilmu tidak meletakkan Ilmu Kalam sebagai satu ilmu yang bermanfaat kepada masyarakat. Bahkan beliau menganggap sesiapa yang keterlaluan dalam membincangkan isu-isu berkaitan dengan sifat dan perbuatan Allah adalah termasuk di dalam golongan orang yang melakukan bid’ah di dalam Islam. Beliau menyatakan bahawa ilmu kalam tidak bermanfaat kepada manusia kerana dua sebab; pertama, ilmu ini tersimpang jauh dari matlamatnya yang utama iaitu mengenal Allah. Kedua, perbincangan ahli Ilmu Kalam terlalu jauh sehingga menyimpang daripada apa yang dibincangkan oleh para ulama’ salaf.

2.2 AL-GHAZALI DAN FALSAFAH
Perbahasan berkaitan dengan isu-isu Ilmu Kalam telah membuka ruang kepada golongan munafiq dan musuh-musuh Islam menimbulkan keraguan kepada akidah dan pegangan umat Islam. Menyedari hakikat tersebut dan didorong atas rasa tanggungjawab setelah melihat tiada seorang pun ulama pada ketika itu bangun menentang musuh-musuh Islam yang menggunakan ilmu falsafah sebagai senjata utama melemahkan pegangan akidah umat Islam, Al-Ghazali bangun menentang hujah-hujah golongan tersebut.

Pada mulanya, beliau langsung tidak mengetahui berkaitan dengan ilmu falsafah. Namun atas rasa tanggungjawab membela agama Allah, beliau mempelajari dengan semangat dan ketekunan yang tinggi. Beliau mengkaji penulisan-penulisan yang berkaitan dengan ilmu falsafah terutamanya ilmu falsafah Yunani. Dengan kesibukannya mengajar ilmu-ilmu agama, beliau menggunakan masa terluang untuk mempelajari ilmu falsafah secara individu tanpa berguru dengan mana-mana guru falsafah yang terkenal. Dengan niat yang ikhlas untuk membela agama Allah daripada serangan ilmu falsafah khususnya ilmu falsafah ketuhanan Yunani, Allah SWT memberikan kepadanya ilmu-ilmu berkaitan falsafah dalam tempoh masa yang singkat iaitu kurang dari dua tahun.

Al-Ghazali memberikan sumbangan yang besar dalam bidang ini khususnya meneroka bidang baru berkaitan falsafah Islam. Setelah menganalisa ilmu falsafah yang dipelajarinya, Al-Ghazali membahagikan golongan yang membahaskan falsafah kepada tiga golongan; pertama, atheis, kedua, natural dan ketiga theologi. Golongan pertama ialah golongan yang mengingkari wujudnya pencipta yang mentadbir seluruh alam ini. Golongan kedua ialah golongan ilmuan yang banyak mengkaji berkaitan dengan tabiat, kejadian dan anatomi manusia, tumbuhan serta haiwan. Golongan ini mendakwa apabila mati mereka tidak akan hidup semula, justeru mereka menafikan adanya hari akhirat. Golongan ketiga adalah ahli theologi iaitu ahli yang membincangkan soal-soal ketuhanan seperti Plato, Aristotle dan Sokratus. Golongan ini membahaskan perkara-perkara berkaitan tuhan dengan bersumberkan akal.

Selain itu, Al-Ghazali adalah orang pertama yang mengklasifikasikan semula ilmu falsafah kepada enam bahagian iaitu matematik, mantiq, fizik, ketuhanan, siasah dan akhlak. Matematik menurut Al-Ghazali ialah berkaitan dengan ilmu hisab dan kejuruteraan. Ia tidak berkaitan dengan perbahasan dari sudut agama. Mantiq pula ialah ilmu yang berkaitan dengan logik akal dan bagaimana akal sebagai agen penyusun hujah-hujah yang dikemukakan. Ilmu fizik pula berkaitan dengan kajian alam, langit, bintang-bintang, air, udara dan alam seluruhnya. Selain itu, ilmu ketuhanan dalam falsafah mengkaji aspek ketuhanan dari perspektif akal. Ilmu ketuhanan ini didasari oleh perbincangan mantiq dan logik. Ilmu ini menurut Al-Ghazali tersimpang daripada falsafah ketuhanan yang sebenar. Siasah menurut Al-Ghazali adalah perkara yang berkaitan dengan unsur-unsur keduniaan yang membantu manusia menjalani kehidupan seharian dengan lebih baik. Ilmu yang terakhir dalam ilmu falsafah menurut Al-Ghazali ialah akhlak iaitu ilmu yang berkaitan bagaimana seseorang menjalani kehidupan seharian dengan sikap dan peribadi yang mulia.

Kepakaran Al-Ghazali dalam bidang falsafah tidak dapat disanggah lagi. Hakikat ini telah disuarakan oleh Dr Sulaiman Dunia, sarjana Islam terkenal dengan menyatakan bahawa perbahasan Al-Ghazali mengenai masalah-masalah falsafah adalah jauh lebih baik daripada perbahasan ahli-ahli falsafah sendiri. Justeru itu, dalam kitabnya Dr Sulaiman Dunia membuat kesimpulan bahawa metodologi yang diasaskan oleh Al-Ghazali adalah lebih jelas dan terperinci. Antara penulisan terkenal Al-Ghazali dalam bidang falsafah ialah Maqasid Al-falasifah, Al-Munqiz min aldhalal dan Tahafut Al-falasifah.
Abu Hassan An-Nadawi juga menyifatkan Al-Ghazali sebagai seorang yang istimewa seperti yang diungkapkannya di dalam salah satu penulisannya ( “ ….dan kaum muslimin sangat memerlukan kepada pengarang dan pengkaji seperti ini, yang akan menghadapi falsafah dengan penuh keimanan dan kepercayaan, berfikiran bebas dan mempunyai keberanian ‘ilmiah untuk mengingkari kemaksuman falsafah, kequdusan dan kegeniusannya dan kedudukan mereka mengatasi kedudukan akal dan fikiran manusia biasa. Sifat ini dipunyai oleh Al-Ghazali seperti dalam kitabnya Tahafut Al-Falasifah, maka beliau datang pada waktunya dan memenuhi hajat zamannya”.).

Kesimpulannya, Al-Ghazali memainkan peranan yang penting dalam perkembangan ilmu falsafah Islam. Beliau dapat menyelamatkan akidah umat Islam dari terus direntap oleh fahaman falsafah Ketuhanan Yunani yang tidak bertauhidkan kepada agama yang suci; Islam. Sekiranya Al-Ghazali tidak bangun untuk mempertahankan kemurnian Islam pada ketika itu, kemungkinan pada hari ini kita masih lagi mengagung-agungkan falsafah Yunani tanpa menyedari bahawa akidah kita telah terpesong secara halus. Nauzubillah min zalik.

2.3 AL-GHAZALI DAN TASAWWUF

Kita telah ketahui bahawa Al-Ghazali telah menjadi ahli falsafah kemudian beliau telah membongkar keburukan ilmu falsafah dan meneroka ilmu baru berkaitan falsafah. Beliau menyerang habis-habisan ilmu falsafah ketuhanan Yunani. Begitu juga dengan tasawwuf. Apabila beliau melibatkan diri menjadi sebahagian dari ahli sufi, beliau sekali lagi membersihkan tasawwuf daripada perkara-perkara kurafat dan daripada perkara yang terkeluar dari pengamalan agama Islam yang sebenar. Namun begitu dalam bidang tasawwuf, Al-Ghazali mempunyai guru. Antara gurunya yang termashur ialah Al-Junaid dan Al-Harith Al-Muhasibin. Al-Ghazali dilihat tidak pernah berdiam diri apabila menyedari pengamalan tasawwuf yang diamalkan oleh segelintir masyarakat pada zamannya terpesong daripada ajaran Islam. Beliau dengan tegas menjelaskan, menghuraikan dan memberikan konsep yang tepat kepada masyarakat pada zamannya. Selain itu, jika Al-Ghazali menyedari kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat dalam bidang tasawwuf, beliau akan melemparkan kritikan yang membina yang bertujuan untuk membetulkan kesalahan dan menghalang daripada penyelewengan yang berlaku berterusan sehingga mencemarkan kemurnian Islam.

Setelah penelitian kritis yang dilakukan oleh AL-Ghazali beliau mendapati ahli sufi pada zamannya terpesong daripada jalan sebenar akibat daripada kecetekan dan kejahilan terhadap ilmu yang berpunca daripada kesibukan mereka beribadat semata-mata. Justeru itu, Al-Ghazali telah mencadangken kepada khalayak pada ketika itu supaya mendalami dan menguasai ilmu yang berkaitan dengan tasawwuf sebelum tekun beribadah. Ini menjamin pengamalnya tidak tersimpang daripada jalan yang sebenar. Sebagai buktinya, jika ditinjau metodologi penulisan Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ulumuddin kita akan dapati bahawa Al-Ghazali memulakan kitabnya dengan perbahasan berkaitan teori dan konsep ilmu, kemudian beliau membahaskan berkaitan dengan fiqh ibadah atau konsep ibadah menurut perspektif hukum Islam. Selepas itu, Al-Ghazali menulis berkaitan dengan fiqh muamalah iaitu teori, hukum yang berlaku dalam kehidupan seharian. Selepas menerangkan teori-teori penting berkaitan dengan ilmu, ibadah dan muamalat, barulah Al-Ghazali membincangkan aspek-aspek tasawwuf seperti hati, sabar dan sifat-sifat lain yang berkaitan dengan zuhud dan peribadi mulia.

Antara penulisan terkenal Al-Ghazali dalam bidang tasawwuf ialah kitab Ihya’ulumuddin. Kitab ini telah menjadi rujukan penting ilmu fiqh dan tasawwuf di serata dunia dari zaman penulisannya hingga ke hari ini. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa lain seperti Bahasa Melayu , Parsi, Urdu, Bahasa Inggeris dan Bahasa Perancis. Selain itu, kitab ini menjadi sumber rujukan ulama’ di rantau alam melayu. Hasilnya lahirlah kitab Siyar assalikin dan Hidayatul salikin serta lain-lain kitab tasawwuf yang ditulis oleh ulama’-ulama; kelahiran Nusantara seperti ulama’ kelahiran Patani, Palembang dan semenanjung tanah melayu. Antara pendorong Al-Ghazali menulis kitab ini ialah kerana kesedarannya yang tinggi terhadap penyelewengan teori dan konsep fiqh serta tasawwuf dalam masyarakat. Kitab ini secara terperinci menjelaskan hubung kait antara fiqh dan tasawwuf. Metodologi Al-Ghazali ketika menulis kitab ini ialah dengan merujuk pertamanya kepada sumber primer iaitu Al-Quran dan Sunah. Kemudian diikuti dengan athar-athar sahabat dan tabi’in. Setelah merujuk pada sumber primer dan sekunder barulah Al-Ghazali mengutarakan pemikirannya terhadap konsep yang ditulisnya.

Kehadiran kitab Ihya’ulumuddin memberi implikasi besar dalam pengajian tasawwuf. Sumbangan ini adalah cukup besar dalam bidang tasawwuf kerana Al-Ghazali telah memurnikan semula ilmu tasawwuf daripada kesesatan dan bid’ah.

2.4 AL-GHAZALI DAN ILMU FIQH
Kitab Ihya’ulumuddin bukan sekadar membawa pembaharuan dalam bidang tasawwuf bahkan membawa pembaharuan dalam bidang penulisan ilmu fiqh. Jika diteliti, kita akan dapati Al-Ghazali menerokai metodologi penulisan baru fiqh yang berasaskan kepada gabungan antara ilmu fiqh dan tasawwuf. Selain itu gaya bahasanya cukup menarik dengan menggunakan susunan tatabahasa yang mudah. Di dalamnya kita dapat membaca fiqh dan tasawwuf dalam waktu yang sama. Sebagai contoh, ketika menghuraikan berkaitan solat, Al-Ghazali bukan sekadar menulis berkaitan teori dan amali perlakuan solat berserta rukun-rukunnya, bahkan beliau juga menekankan soal kehadiran hati, khusyuk dan khuduk dalam perlakuan solat.
Perbahasan berkaitan kehadiran hati, khusyuk dan khuduk adalah intipati daripada ilmu tersebut. Selain itu, ketika Al-Ghazali menulis berkaitan muamalat. beliau bukan sahaja mengkhususkan berkaitan teori jual beli dan untung, bahkan beliau menulis berkaitan dengan keperluan-keperluan kaum muslimin yang perlu dipenuhi sebagai tuntutan fardu kifayah dan mutiara nasihat kepada pembekal dan pembeli ketika melaksanakan urusan muamalat. Kesimpulannya, kehadiran kitab Ihya’ulumuddin membuka dimensi baru metodologi penulisan fiqh dan tasawwuf, Penggabungan ini membawa faedah besar dalam kehidupan seharian manusia.











BAB 3

KESIMPULAN

Pada pandangan penulis setelah diteliti mengenai buku ini, ia merupakan sebuah buku yang tersusun dan mengikut aturan yang sepatutnya Ia dibahagikan kepada lima bab di mana di dalam setiap bab dibahagikan kepada beberapa fasal. Di bawah setiap fasal pula dipecahkan lagi kepada beberapa subtajuk yang lebih kecil dan terperinci. Kaedah yang digunakan dalam pembahagian isi kandungan kepada beberapa tajuk dan subtajuk ini memudahkan pembaca untuk memahami isi kandungan yang ingin disampaikan oleh penulis di samping menyenangkan pembaca untuk merujuk terus kepada subtajuk-subtajuk tertentu. Selain itu, penulis buku ini juga turut menyelitkan nota kaki sebagai rujukan tambahan kepada pembaca.

Buku ini merupakan sebuah buku yang amat menarik. Ia merupakan bahan bacaan yang sesuai untuk golongan dewasa kerana penghuraian yang begitu detail. Jika ditinjau dari sudut isi, ia memberi gambaran yang terperinci mengenai keperibadian dan sumbangan tokoh dalam beberapa cabang ilmu seperti ilmu fiqh, tasawwuf, ilmu kalam. Penulis juga tidak lupa untuk menyelitkan sari kata dari Imam Al-Ghazali sendiri untuk memberi penghayatan yang sebenar tentang sesuatu kisah yang dialami oleh tokoh. Walaupun begitu, saya terpaksa dan perlu membaca satu perenggan ayat berulang kali dalam usaha untuk memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh penterjemahan yang dilakukan ke atas kitab ini menggunakan bahasa yang agak kompleks dan sukar untuk difahami sekiranya dibaca sekali imbas sahaja. Pada pendapat saya, penterjemah membuat terjemahan terus dari kitab asal dengan uslub bahasa arab tanpa menukarkan semula kepada bahasa Malaysia dengan susunan bahasa yang lebih tersusun dan ringkas.

Setelah habis membaca buku ini, saya berasa amat kagum dengan ketokohan Imam Al-Ghazali sebagai Hujjatul Islam dan Pembaru dalam agama. Saya mula membayangkan adakah saya mampu menjadi seperti beliau yang boleh dikatakan mendalami hampir semua ilmu yang ada pada zaman beliau. Ternyata tiada siapa yang mampu untuk mengatasi beliau dari sudut ilmu dan pengamalan pada zaman itu. Dua gelaran yang diberikan kepada beliau adalah amat bertepatan dan kena pada ketokohan beliau. Telah dinyatakan sebelum ini beliau bukanlah seorang penuntut ilmu yang hanya mampu mempelajari sesuatu ilmu dari guru kemudian menulis dan menghafalnya sahaja,bahkan beliau melampaui batas-batas pemerolehan ilmu seperti itu, beliau telah pergi jauh sehingga mampu untuk mengcungkil dan mengorek segala permasalahan dan segala kepincangan dalam sesuatu bidang ilmu itu. Ternyata pemikiran beliau dapat mengatasi ilmuan-ilmuan pada zaman itu.

Sekiranya beliau masih ada pada zaman kini, beliau pasti menjadi seorang tokoh ilmuan yang cukup hebat dari sudut ilmu dan pengamalan. Dengan kecanggihan ilmu teknoolgi dan komunikasi serta pemerolehan maklumat tanpa sempadan kini pasti akan digunakan sepenuhnya oleh beliau untuk menggali segala ilmu dan pengetahuan tanpa terhenti dalam satu bidang sahaja sebagaimana yang ada pada tokoh ilmuan pada masa kini. Tidak mustahil dengan kecanggihan ilmu yang ada, beliau mampu menulis lebih banyak buku hasil gabungan pengajian islam dengan bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial, politik, hubungan antarabangsa, geografi, sains dan bidang-bidang lain. Sudah tentu buku-buku yang dihasilkannya menjadi sumber rujukan di seluruh pelosok dunia kerana saya menyedari bahawa apabila Al-Ghazali mendalami sesuatu bidang pengetahuan sudah pasti beliau menjadi seorang yang menguasai bidang tersebut dengan izin Allah mengatasi cerdik pandai yang telah lama berada dalam bidang tersebut. Ini dapat dibuktikan dalam setiap ilmu yang diceburinya sentiasa ada pemikiran-pemikiran baru yang bersifat pembaharuan atau pengembangan konsep yang dikemukakan oleh ilmuan terdahulu sebelumnya.
Semoga pada zaman ini akan lahir ilmuan-ilmuan Islam yang mampu menguasai ilmu sebaik Al-Ghazali. Masyarakat Islam menanti dengan penuh harapan kehadiran ilmuan Islam yang boleh digelar sebagai Al-Ghazali 2. Al-Ghazali telah lama pergi, ulama’ datang silih berganti, namun sukar mencari pengganti, sebijak Al-Ghazali…..

Alhamdulillah..
sumber: http://lebaiyusri.blogspot.com/2008/11/biografi-imam-al-ghazali-rahimahullah.html. 19/05/10